bakat dan talenta

Friday, May 22, 2009

panduan memilih sekolah (atau untuk homeschooling) : KREATIVITAS




Panduan memilih sekolah (atau untuk tidak bersekolah)

Banyak orangtua berpendapat kurikulum sekarang amat memberatkan anak. Benarkah?

Guru yang ambisius? Sekolah yang ambisius? Kepala sekolah yang ambisius? Atau itu semua hanya soal ilmu yang berkembang?

Ada dua pilihan :
- Menyalahkan kemajuan ilmu pengetahuan karena membuat pendidikan begitu membebani?
- Atau..Menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan untuk membuat pendidikan hal yang menyenangkan.

Anak kelas 1 SD sekarang harus belajar tentang deret angka. Sementara dulu mungkin hanya harus belajar mengenali angka. Itu suatu hal yang berat? (bisa ada koor orangtua yang serempak menjawab “ya….!”)

Tapi. Tunggu dulu pak, bu..

Teknologi pendidikan sudah amat maju..

Bahkan hal seperti deret angka bisa dicerna juga kok oleh seorang anak kelas 1. Anda tak percaya?

Sekolah bagus haruslah memiliki kumpulan guru yang kreatif. Mereka yang mampu mengolah beban belajar menjadi materi bermain.

Dari pengalaman saya di sejumlah sekolah, guru, yayasan dan kepala sekolah adalah factor kunci yang menentukan berat tidaknya kurikulum disampaikan dan diajarkan.

Guru yang kreatif, bila berhadapan dengan kepala sekolah yang ambisius, bisa mengalami kesulitan. Kreativitasnya bisa terhambat.

Kepala sekolah yang kreatif dan cerdas, bisa memimpin guru-guru yang biasa saja dan merubahnya menjadi satu tim pengajar super kreatif, yang bisa membungkus pelajaran sekolah yang sulit menjadi mudah.

Ijinkan saya bercerita tentang tiga orang kawan yang saya dahulu saya kenal dengan dekat.

Yang pertama adalah pemilik yayasan dan juga kepala sekolah di sebuah sekolah islam terpadu.

Yang kedua adalah seorang lulusan pesantren yang kemudian diangkat menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah islam pinggiran.

Dan yang ketiga adalah kepala sekolah dengan latar belakang sarjana sains.

Tapi.. ketiganya berhasil merubah sekolah ‘pinggiran’ menjadi tiga buah sekolah bergengsi di bogor, dengan angka nilai kelulusan yang menakjubkan.

Apa rahasia mereka? Ternyata hanya 1 : KREATIVITAS

Hingga kepala sekolah yang juga seorang trainer perempuan handal, berhasil merubah sekolah pinggir kota menjadi salah satu sekolah terbaik, dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah negeri unggulan (juga swasta) yang ada dalam ranking terbaik di bogor, hanya dalam waktu yang singkat.

Hingga seorang lulusan pesantren berhasil menjadikan sekolah dengan hanya 3 ruang kelas menjadi sekolah bergengsi dan mewah (berkat dukungan donatur yang tertarik invest), hanya dalam waktu yang singkat juga.

Hingga sekolah yang hanya menyewa bekas sebuah restoran sunda, berhasil memiliki tanah sendiri dan membangun sekolah yang amat mengesankan. Lengkap dengan kolam renang dan wahana bermain yang menyenangkan.

Menakjubkan bukan? Dan itu hanya satu hal rahasianya : KREATIVITAS
Kreativitas, berhasil merubah kurikulum yg berat menjadi ringan.

Mereka bertiga, masing-masing menggunakan metode belajar sambil bermain. Jadi ucapkan selamat tinggal pada ruang kelas yang kaku dan guru-guru galak yang tidak memiliki kreativitas yang cukup.

Doktor psikologi yang membimbing saya membuka kelas untuk anak berbakat amat berhati-hati dalam membimbing saya, memperhatikan bahwa amat banyak muatan yang saya coba sampaikan.

Tapi semuanya bisa berjalan dengan baik. Tak ada yang tahu, kecuali saya dan anak2 didik itu, serta asisten saya, bahwa anak2 super cerdas yang saya ajar itu bahkan merasa tidak belajar sama sekali saat bersama saya. Bahkan saya ingat seorang anak di kelas itu melaporkan saya secara live ke ibunya, dengan menelepon saat di kelas, karena ia merasa saya tidak mengajarkannya apa-apa.

Ia baru sadar bahwa ia telah belajar, setelah ia membaca hasil laporan yang saya buat secara individual, dan.. berbalik menjadi hormat.

See? Seorang anak tak perlu menyadari bahwa ia sedang belajar sesuatu.. ia hanya perlu kita ajak bermain. Hanya saja, permainan tersebut harus dirancang untuk menyampaikan sesuatu. Itu saja kok..

Jadi bukan tidak sekolah-nya. Atau soal home schooling nya, yang akan memberi bobot pada proses pembelajaran. Tapi bagaimana cara mengajar, dan apa yang ingin diajarkan.

Bila yang ada dalam otak kita hanyalah sistem belajar yang kaku, bahwa si anak hanya mengerjakan tugas yang termuat di dalam buku yang dijadikan panduan (saja), tanpa ada sedikitpun upaya dari guru untuk kreatif. Dan ini bisa ditemui di sekolah bergengsi termahal sekalipun. Maka anak akan amat tertekan, terbebani, dan tidak bisa bermain! Sekalipun ia anda ajarkan sendiri di rumah.

Dari pengalaman saya sebagai guru dan membuat kurikulum, jawabannya ; itu bukan salah dari diknas, tapi kebijakan dari sekolah-lah yang membuat bobot kurikulum tersebut menjadi suatu masalah. Bagi anak, ataupun bagi orangtua. Bahkan bagi sekolah itu sendiri.

Kurikulumnya sendiri ringan kok. Coba saja anda minta kopinya. Anda akan kaget.

Masalahnya; sejumlah sekolah tidak mengandalkan kreativitas guru, tapi kreativitas penerbit buku dan para penulis. Mereka tentu saja tidak bisa menuliskan games-games disitu.. mereka hanya bisa membuat buku dan buku lagi..

Masalah yang ada adalah, bila guru dan kepala sekolah tidak kreatif, mereka akan mencoba membuat sekolah itu memiliki daya saing hanya dengan satu jalan; menggunakan sebanyak2nya buku paket, latihan soal dan lain-lain, untuk membebani anak dengan apa yang mereka bilang sebagai pendidikan.

Dan saran saya. Semahal apapun sekolah ini, jangan sekolahkan anak anda disana. Karena ia akan dicetak menjadi robot pembaca buku dengan hati yang kering dan pengalaman yang seret makna.

Saran saya untuk memilih sekolah hanya 1 : pilihlah sekolah yang kreatif, dengan guru-guru yang kreatif. Biasanya ini dimiliki oleh sekolah-sekolah baru, pinggiran, PAUD2 kreatif. Tapi berpotensi untuk menjadi maju. Dan.. libatkan diri anda dengan aktif sebagai orangtua. Berilah saran sebanyak2nya, belikan buku sebanyak2nya untuk sekolah2 itu (bila perlu).

Mengapa saya menuliskan ini? Karena saya banyak memiliki kawan kepala sekolah, dari sekolah-sekolah baru. Dan mereka berhasil maju karena bisa bekerjasama selaras dengan para orangtua. Dan ini adalah sebuah kemewahan yang tidak anda temukan di sekolah mahal. Mereka biasanya sudah amat baku, dan hanya terbuka sedikit ruang untuk kreativitas atau inovasi.

Bila anda terpaksa memilih sekolah mahal (karena alasan terserah anda); cek apakah mereka memiliki guru yang kreatif. Berkenalanlah dengan mereka. Lihat bagaimana anak anda belajar. Apakah anak anda menikmatinya atau tidak? Apakah anak anda merasa terbebani atau tidak?

Sekolah mahal biasanya dipilih karena fasilitas yang dimilikinya. Atau karena guru-guru internasionalnya. Atau karena apa? ya. Gengsi.

Tapi seorang ibu, orangtua dari anak berbakat yang pernah saya temui dalam suatu acara kampus di hotel mulia, bercerita bahwa ia memindahkan anaknya dari satu sekolah internasional, karena ke-kaku-an yang dimiliki sekolah itu, ke sekolah internasional lainnya, yang kalah populer tapi cukup manusiawi.

Apakah anda ingin memiliki anak yang kaku? Ya itu saya serahkan pada anda.
dan.. anak-anak super cerdas yang bisa menguasai 5-7 bahasa yang pernah bergaul dengan saya (saya lebih merasa menjadi kawan mereka dibanding menjadi seorang guru), toh bisa menguasai berbagai bahasa itu bukan karena dimana mereka bersekolah, tapi berkat travelling yang dilakukan orangtuanya bersama mereka kok.. juga karena bahasa ibu-bapaknya. Sekali lagi bukan karena sekolahnya. Tapi karena orangtuanya.
Sekalipun anak telah masuk sekolah, tugas orangtua tidak pernah selesai.

Happy learning, happy kids. Happy in education.. (jadi ingat tulisan sy sebelumnya tentang pendidikan kebahagiaan.. hem..)

good luck Putski..
(tulisan ini saya buat untuk sahabat sy yg sdg bingung menentukan sekolah untuk anaknya)

Semoga berguna..

Ps; bukan diktat, lks, dan PR atau buku paket kok yg bikin anak anda akan pintar atau tidak. Tapi guru yg kreatif, yg tidak perlu menggunakan salah satunya, untuk mengajarkan sesuatu pada anak anda, dan tetap membuat nilainya tinggi di ujian.

Belajar itu (buat anda yg masih tidak percaya pada kreativitas);
- Katakan; maka hanya 10-20% ilmu bisa terserap
- Contohkan; maka akan 30-60% ilmu bisa terserap
- Libatkan; maka akan 70-100% ilmu bisa terserap.